JAKARTA, KOMPAS.com -- Usulan perombakan menjadi hanya tiga Komisi di DPR, sangat dimungkinkan sebagai sebuah opsi dan ini harus dilakukan melalui revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Usulan tersebut mensyaratkan koordinasi yang sangat intensif lintas komisi, serta pembenahan kinerja fraksi dan manajemen rapat. Menurut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri, Jumat (16/9/2011) di Jakarta, tanpa kedua hal tersebut, proses pengolahan aspirasi akan mengalami stagnasi. Apalagi profil dan fungsi esensi dari seorang anggota DPR adalah fungsi representasi (sebagaimana diatur Pasal 69 ayat (2) UU MD3). Sedangkan fungsi yang selama ini kita kenal, seperti fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran adalah jabaran atau operasionalisasinya. Masyarakat tentunya tidak peduli di wilayah (komisi) apa anggota DPR tersebut bekerja. Mereka hanya tahu anggota DPR menjalankan semua fungsi yang melekat pada dirinya. Untuk itulah fraksi dan skretariat jenderal DPR harus merespon kondisi tersebut, agar aspirasi publik tidak harus terbentur pada pembidangan tiga komisi dimaksud. Sekarang kita telah membahas aspek-aspek
, mari kita kembali kepada beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan.
Sementara ini, menurut Ronald, PSHK masih mendorong pada reposisi masing-masing alat kelengkapan. Seperti keberadaan komisi yang saat ini berjumlah 11, sebenarnya masih bisa ditinjau jumlahnya, termasuk jumlah anggota setiap komisi yang tidak harus dipukul rata 50-an orang dan pembidangannya. "Begitu juga seperti BKSAP (Badan Kerja Sama Antar-Parlemen), yang sebenarnya bisa diintegrasikan kepada Komisi I dan pimpinan DPR. Alat kelengkapan seperti Baleg dan Bamus tetap bisa dipertahankan seperti sekarang. Tentu dengan adanya pemberdayaan seperti rapat-rapat Bamus yang didorong terbuka," tuturnya. Perubahan komposisi anggota seharusnya diberlakukan untuk Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan Badan Kehormatan (BK). Anggota BURT sebaiknya bukan dari anggota DPR lagi, tapi para pakar dan profesional. Begitu pula anggota BK, tidak perlu lagi ditentukan harus 11 orang. Cukup tiap fraksi diwakili satu orang dan ditambah unsur eksternal, bisa dari kalangan akademisi, pemantau parlemen, ataupun profesional. Sedangkan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dan Badan Anggaran (Banggar) perlu perlakuan khusus. BAKN harus diperkuat dan jika perlu tidak terlalu bergantung kerjanya dengan komisi. Sedangkan Banggar, perlu ada perubahan wewenang dan mekanisme kerja, yang mampu meredam potensi penyimpangan pada pembahasan anggaran.
Sementara ini, menurut Ronald, PSHK masih mendorong pada reposisi masing-masing alat kelengkapan. Seperti keberadaan komisi yang saat ini berjumlah 11, sebenarnya masih bisa ditinjau jumlahnya, termasuk jumlah anggota setiap komisi yang tidak harus dipukul rata 50-an orang dan pembidangannya. "Begitu juga seperti BKSAP (Badan Kerja Sama Antar-Parlemen), yang sebenarnya bisa diintegrasikan kepada Komisi I dan pimpinan DPR. Alat kelengkapan seperti Baleg dan Bamus tetap bisa dipertahankan seperti sekarang. Tentu dengan adanya pemberdayaan seperti rapat-rapat Bamus yang didorong terbuka," tuturnya. Perubahan komposisi anggota seharusnya diberlakukan untuk Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan Badan Kehormatan (BK). Anggota BURT sebaiknya bukan dari anggota DPR lagi, tapi para pakar dan profesional. Begitu pula anggota BK, tidak perlu lagi ditentukan harus 11 orang. Cukup tiap fraksi diwakili satu orang dan ditambah unsur eksternal, bisa dari kalangan akademisi, pemantau parlemen, ataupun profesional. Sedangkan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dan Badan Anggaran (Banggar) perlu perlakuan khusus. BAKN harus diperkuat dan jika perlu tidak terlalu bergantung kerjanya dengan komisi. Sedangkan Banggar, perlu ada perubahan wewenang dan mekanisme kerja, yang mampu meredam potensi penyimpangan pada pembahasan anggaran.