JAKARTA, KOMPAS.com - Organisasi Mahasiswa Kelompok Cipayung yang terdiri dari GMNI, HMI, PMII, PMKRI, GMKI mendesak seluruh elit politik di negeri ini untuk segera menghentikan politisasi elit terhadap rakyat. "Situasi kebangsaan akhir-akhir ini sungguh memprihatinkan bagi kita semua sebagai sebuah bangsa dan negara. Di saat rakyat masih mengalami kesulitan ekonomi, rakyat Indonesia disuguhkan dengan kekisruhan antar elit," demikian pernyataan yang diterbitkan Kelompok Cipayung di Jakarta, Kamis (7/7/2011). Menurut para mahasiswa, penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan karena cenderung tebang pilih. Banyak penyelesaian kasus hukum digunakan sebagai barter politik demi kepentingan para elit. Selain itu korupsi yang semakin merajalela dan sistematis telah merusak penyelenggaraan pemerintahan yang berujung pada pemiskinan rakyat secara struktural. Sejauh ini, kami telah menemukan beberapa fakta menarik tentang
. Anda mungkin memutuskan bahwa informasi berikut ini bahkan lebih menarik.
"Di sektor pendidikan, penyelenggaraan pendidikan cenderung neolib. Hal ini terlihat jelas dari gencarnya komersialisasi pendidikan yang mengakibatkan tidak setiap anak bangsa mampu mendapatkan hak konstitusionalnya terhadap akses pendidikan," lanjut Kelompok Cipayung. Para mahasiswa juga menyoroti politisasi keagamaan nuansa, dengan dikeluarkannya Fatwa MUI yang melarang konsumsi Premium bagi masyarakat yang dianggap mampu. "Penggiringan simbol-simbol keagamaan dalam ranah politik tentu semakin menempatkan kita pada posisi nadir terendah dari keteladanan dan moral politik elit kita," tulis Kelompok Cipayung dalam pernyataannya. Kondisi demikian, dikatakan para mahasiswa, menunjukkan lemahnya kesadaran elit dalam memahami situasi dan kondisi masyarakatnya. "Lemahnya kesadaran para elit ini menunjukkan rendahnya moral mereka. Kondisi masyarakat yang serba sulit ini semakin diperparah dengan konflik antar elit yang menyajikan drama politik penyanderaan antar penyelenggara negara dan menjadikan kebusukan-kebusukan mereka sebagai alat transaksi politik." Sementara itu, Stefanus Gusma, Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI mengatakan, politisasi rakyat yang dimainkan oleh elit mengkhianati kondisi obyektif rakyat indonesia yang saat ini masih miskin, dan menderita kekurangan gizi, serta terkendala pendidikan mahal. "Ditambah lagi pola dagelan elit politik secara gamblang membuat banyak proses pengusutan kasus korupsi seperti Century dan IT KPU terhenti karena saling sandera," kata Gusma.
"Di sektor pendidikan, penyelenggaraan pendidikan cenderung neolib. Hal ini terlihat jelas dari gencarnya komersialisasi pendidikan yang mengakibatkan tidak setiap anak bangsa mampu mendapatkan hak konstitusionalnya terhadap akses pendidikan," lanjut Kelompok Cipayung. Para mahasiswa juga menyoroti politisasi keagamaan nuansa, dengan dikeluarkannya Fatwa MUI yang melarang konsumsi Premium bagi masyarakat yang dianggap mampu. "Penggiringan simbol-simbol keagamaan dalam ranah politik tentu semakin menempatkan kita pada posisi nadir terendah dari keteladanan dan moral politik elit kita," tulis Kelompok Cipayung dalam pernyataannya. Kondisi demikian, dikatakan para mahasiswa, menunjukkan lemahnya kesadaran elit dalam memahami situasi dan kondisi masyarakatnya. "Lemahnya kesadaran para elit ini menunjukkan rendahnya moral mereka. Kondisi masyarakat yang serba sulit ini semakin diperparah dengan konflik antar elit yang menyajikan drama politik penyanderaan antar penyelenggara negara dan menjadikan kebusukan-kebusukan mereka sebagai alat transaksi politik." Sementara itu, Stefanus Gusma, Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI mengatakan, politisasi rakyat yang dimainkan oleh elit mengkhianati kondisi obyektif rakyat indonesia yang saat ini masih miskin, dan menderita kekurangan gizi, serta terkendala pendidikan mahal. "Ditambah lagi pola dagelan elit politik secara gamblang membuat banyak proses pengusutan kasus korupsi seperti Century dan IT KPU terhenti karena saling sandera," kata Gusma.