JAKARTA, KOMPAS.com- Kesetaraan gender antara perempuan dan pria di Indonesia sampai hari ini masih dipertanyakan. Jangankan menjadi perempuan pemimpin, di kursi parlemen seperti DPR pun angka perempuan yang berhasil masuk pun sangat minim. Menurut Direktur Eksekutif Pusat Pemberdayaan Perempuan dalan Politik (PD Politik), Titi Sumbung, hasil Pemilu 2009 menunjukkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif di DPR RI, 18 persen, di DPD RI 27 persen, sedangkan di DPRD Provinsi, 14, 34 persen. Sisanya dipegang oleh kaum pria. Bukan hanya kesetaraan gender saja yang menjadi persoalan. Hal ini, lanjut Titi, juga kaum perempuan banyak yang belum menyadari hak-hak konstitusionalnya, khususnya hak sipil dan politik, karena faktor belum "terbiasa" menggunakan hak-hak itu. You can see that there's practical value in learning more about mobil keluarga ideal terbaik indonesia. Can you think of ways to apply what's been covered so far?
"Sudah sepuluh kali diselenggarakan pemilihan umum, tapi keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan publik pada lembaga-lembaga perwakilan masih sangat rendah," kata Titi di Gedung Kowani, Kamis (3/3/2011). Hal senada disampaikan oleh salah satu Ketua Umum Alimat, Maria Ulfah Anshor. Menurutnya, budaya masyarakat yang bersumber secara patriakhis turun-temurun menempatkan perempuan di sektor domestik dan pria di sektor publik menjadi penghalang akses perempuan dalam memasuki dunia politik. Hambatan lain adalah pandangan masyarakat yang salah. Masyarakat cenderung memilih politik uang ketimbang, daripada melihat sosok pemimpin yang terbaik. "Sekarang ketika pemilihan umum, terkadang bukan lagi orang melihat kualitas pemimpinnya, tapi muncul pertanyaan, bisa bayar berapa kalau saya pilih anda. Hal seperti ini yang salah terjadi di masyarakat. Pendidikan politik dan demokrasi pemilu penting untuk mengajarkan masyarakat," ujar Maria Ulfah. Ulfah menambahkan penetapan kuota 30 persen bagi perempuan untuk melangkah sebagai calon legislatif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu turut menjadi tantangan perempuan untuk mengejar kursi di parlemen. Ia menyarankan perlu peninjauan ulang terhadap seluruh produk hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan gender yang merugikan wanita.
"Sudah sepuluh kali diselenggarakan pemilihan umum, tapi keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan publik pada lembaga-lembaga perwakilan masih sangat rendah," kata Titi di Gedung Kowani, Kamis (3/3/2011). Hal senada disampaikan oleh salah satu Ketua Umum Alimat, Maria Ulfah Anshor. Menurutnya, budaya masyarakat yang bersumber secara patriakhis turun-temurun menempatkan perempuan di sektor domestik dan pria di sektor publik menjadi penghalang akses perempuan dalam memasuki dunia politik. Hambatan lain adalah pandangan masyarakat yang salah. Masyarakat cenderung memilih politik uang ketimbang, daripada melihat sosok pemimpin yang terbaik. "Sekarang ketika pemilihan umum, terkadang bukan lagi orang melihat kualitas pemimpinnya, tapi muncul pertanyaan, bisa bayar berapa kalau saya pilih anda. Hal seperti ini yang salah terjadi di masyarakat. Pendidikan politik dan demokrasi pemilu penting untuk mengajarkan masyarakat," ujar Maria Ulfah. Ulfah menambahkan penetapan kuota 30 persen bagi perempuan untuk melangkah sebagai calon legislatif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu turut menjadi tantangan perempuan untuk mengejar kursi di parlemen. Ia menyarankan perlu peninjauan ulang terhadap seluruh produk hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan gender yang merugikan wanita.